Orkestra Menyelamatkan Demokrasi

Sriwijaya Merdeka : Surabaya

#SalamSrika

Isa Ansori, Kolumnis

Demokrasi memang bukan segala galanya, namun itulah pilihan yang sedang dipilih untuk menyelamatkan Indonesia, sehingga harus ada ikhtiar untuk memperjuangkannya.

Sebagai bangsa besar, Indonesia adalah bagian dari dunia, dan untungnya juga Indonesia memiliki Pancasila sebagai sebuah warisan kultur nilai nilai budaya.

Terletak di wilayah yang pertemuan bangsa – bangsa di dunia, tentu saja keberadaan Indonesia menjadi sangat strategis, sehingga membuatnya menjadi rebutan bangsa – bangsa dunia terutama bangsa – bangsa Barat dan Timur. Ada yang datang sebagai penjajah dan hanya mengeruk kekayaan alam Indonesia dan ada yang bekerjasama berdagang dan menyebarkan pengaruhnya dalam rangka perbaikan kualitas budaya dan peradaban masyarakat lokal.

Selama menjalani transisi kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami pasang surut demokrasi yang luar biasa. Rongrongan PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila dan gerakan – gerakan lain yang berusaha mengganti ideologi Pancasila yang diakibatkan kekecewaannya terhadap Soekarno. Namun semua bisa diatasi dengan baik meski kadang berdarah darah.

Perdebatan di Konstituante dan BPUPKI yang kemudian menghasilkan Pancasila 18 Agustus 1945, adalah bukti penting betapa luar biasanya para pendiri bangsa bersikap sebagai negarawan membangun titik temu, mengesampingkan perbedaan untuk menghadirkan Indonesia yang berkeadilan sosial, sebagaimana yang tertulis di sila ke 5 Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Itulah yang kita sebut dengan demokrasi Pancasila.

Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menyisahkan banyak persoalan bangsa. Bangsa ini mengalami ketidakpastian dan keterbelahan, cebong dan kampret, sebuah narasi PKI yang dimunculkan kembali oleh untuk membelah bangsa. Tumbuhnya entitas baru buzzer yang menggonggong dan menjilat hanya untuk menutupi kelemahan dan kebohongan, keadilan yang tercampakkan, hukum hanya tajam ke lawan, oposisi diberangus, oligarki mendapatkan keistimewaan dan sederet pelecehan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Akibatnya rakyat kehilangan kepercayaan.

Baca Juga :       Anies Baswedan Antara Gagasan dan Tindakan

Demokrasi benar benar menuju kematian, massifnya hembusan penundaan pemilu, isu masa jabatan presiden tiga periode, pemilihan kepala daerah plt dengan penunjukan dan intervensi intervensi memanipulasi demokrasi.

Namun kita masih beruntung, masih ada di Parlemen partai yang dianggap menjadi penyeimbang demokrasi, meski keberadaannya lemah dan hampir tak berarti. Tapi setidaknya kita masih melihat ada harapan demokrasi masih ada. Itulah yang dimainkan oleh partai Demokrat dan PKS. Setelah itu muncul sosok Anies Baswedan dan Partai NasDem.

Munculnya nama Anies memang sudah bisa diduga. Anies dianggap sebagai antitesa dan sintesa pemerintahan Jokowi. Harus jujur diakui terpilihnya Jokowi menjadi presiden 2014 ada kerja kerja Anies dilapangan. Anies juga menjadi harapan baru, setelah Prabowo dan Sandi yang diharapkan timbul tenggelam bersama rakyat, ternyata bergabung bersama pemerintahan Jokowi. Sebuah pilihan yang harus dihormati. Namun pilihan mereka membuat rakyat pendukungnya kehilangan perlindungan dan berakibat kekecewaan dan penyesalan.

Hal yang sama terjadi pada partai NasDem. Dengan semangat restorasi dan perubahan, partai NasDem mampu mengambil momentum harapan perubahan. Ketua Umum NasDem, Surya Paloh, melalui Rakornya, memutuskan Anies sebagai calon presiden yang diusung.

Partai Nasdem, kini telah menjadi pemimpin orkestrasi perubahan penyelamatan demokrasi dan masa depan Indonesia.

Kombinasi apik Koalisi Perubahan dan Anies Baswedan, mampu memainkan orkestra demokrasi dengan baik dan saling menguatkan. Manufer – manufer cantik Surya Paloh, AHY, Ahmad Syaikhu, Partai NasDem, Demokrat dan PKS, mampu membangun kesadaran bahwa berdemokrasi itu santun dan terbuka kepada semua pihak, menemukan titik temu dan mengesampingkan perbedaan, karena semangatnya sama, membangun Indonesia.

Energi penyelamatan demokrasi kini semakin tumbuh dan menjadi kesadaran bersama, NU dalam peringatan satu abadnya, mengambil peran sebagai guru bangsa dengan mewacanakan membangun fiqih peradaban, sebuah jalan membangun bangsa yang beradab. Hal yang sama juga dilakukan oleh Muhammadiyah dengan gerakan gerakan pembaharuan menjawab problem ummat melalui gerak karya dan pembangunan perilaku. Bagi Muhammadiyah menjaga peradaban bangsa dengan semangat berlomba lomba memberi kebaikan, adalah sebuah keniscayaan yang sudah didedikasikan.

Bukan hanya gerakan Masyarakat madani yang diperankan oleh NU dan Muhammadiyah untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia, partai politik “anyar”, Partai Ummat, besutan Amien Rais, Bapak Reformasi, juga mulai melawan stigmasi politik identitas dan politik sekuler yang jauh dari nilai nilai Pancasila. Bagi Amien, bangsa ini sudah dibodohi dan dibohongi oleh para penjarah negara dan oligarki dengan menghembuskan isu isu murahan politik identitas dan politik aliran. Mengapa ini bisa terjadi, karena mereka para penghembus itu adalah mereka yang tidak jelas, tidak beridentitas dan tidak punya keberpihakan terhadap demokrasi dan Indonesia. Mereka antek antek oligarki dan hanya mengeruk kekayaan negara.

Sambutan rakyat kepada Anies Baswedan diberbagai tempat dan penjuru Indonesia, adalah fonomena baru harapan perubahan, menuju transisi demokrasi penyelamatan Indonesia.

Paduan Ormas, Partai Politik, LSM, Akademisi, Masyarakat, Relawan dan seluruh rakyat Indonesia, terutama emak – emaknya, bersama Anies Baswedan, kini telah menjadi energi baru perubahan penyelamatan demokrasi Indonesia.

Semoga Indonesia selamat!

Surabaya, 19 Februari 2023

Isa Ansori
Kolumnis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »