Rivalitas Jokowi dan Megawati

#SalamSrika

Jumat, 16 Ramadhan 1444 Hijriah   / 07 April  2023 M

Isa Ansori, Akademisi dan Kolumnis

Baca juga :  Melawan Capres Oligarki

Tak kunjung ditetapkannya calon presiden dari PDIP membuat Jokowi gelisah dan dalam kepanikan. Melawan secara terbuka tentu bukan sikap Jokowi, tetapi sinyal – sinyal perlawanan terhadap Megawati sering kali dikirimkan.

Semakin dekatnya masa pendaftaran capres – cawapres dan semakin tak kunjung ada kepastian sikap PDIP tentang calon tersebut, membuat Jokowi melakukan manuver – manuver untuk mengendorse calon – calon yang dianggap bisa menjamin masa depan dirinya, keluarganya, proyek – proyek oligarki dan kepentingan Cina. Hal ini terjadi karena Jokowi harus memberi kepastian dan jaminan kepada investor yang telah menggelontorkan dananya.

Kondisi ketertekanan Jokowi diperparah oleh ketidakterbendungnya penerimaan masyarakat terhadap Anies Baswedan. Anies menjadi fonomena baru yang tidak diharapkan oleh Jokowi dan oligarki.

 

PROMO UMROH MILAD HOLIDAY ANGKASA WISATA

 

Anies dianggap sebagai calon presiden yang akan menghentikan seluruh praktik jelek proyek ambisius Jokowi yang memanjakan oligarki, terutama investasi yang datangnya dari Cina. Padahal Anies tidaklah seperti itu, Anies adalah sosok yang taat kosntitusi, Anies tak akan membatalkan tanpa alasan, Anies hanya akan melakukan sesuatu berdasar pada skala prioritas. Jadi tak benar Anies digambarkan sebagai sosok yang menghentikan program Jokowi, kecuali memang program yang tak ada dalam perencanaan dan undang undang.

Jokowi jelas tak menghendaki Puan sebagai capres PDIP, Jokowi lebih berharap Ganjar yang digadang mampu mengamankan proyek – proyek ambisiusnya yang memanjakan oligarki. Namun sayangnya, Megawati tidak sejalan dengan keinginan Jokowi. Bahkan Megawati dengan tegas mengatakan urusan Capres PDIP mutlak berada dibawah kewenangannya sebagai ketua umum yang diamanahi oleh rakernas PDIP 2022.

Bagi Megawati, ditengah usianya yang semakin bertambah, mengamankan PDIP berada dibawah kendali trah Soekarno, jauh lebih penting dibanding sekedar hanya kekuasaan. Selain anak biologis, Puan dianggap sebagai anak ideologis yang akan mampu menjaga arah PDIP sejalan dengan pikiran pikiran Soekarno. Apalagi pernah ada pernyataan dari pendukung Ganjar bila Ganjar Presiden, Jokowi akan menjadi ketua umum PDIP, sebuah keinginan yang sederhana sebagai partai yang mengklaim sebagai partai demokratis, namun ini menjadi ancaman bagi Megawati.

Munculnya kelompok dewan kolonel dan dewan kopral sejatinya merupakan persaingan diinternal PDIP antara loyalis Puan dan loyalis Ganjar. tentu saja persaingan itu bisa dibaca sebagai persaingan antara loyalis Megawati dan loyalis Jokowi.

 

DISKONNNNN!!! UMROH + TURKIYE

 

Perang terbuka Jokowi terhadap Megawati bisa dilihat bahwa Jokowi tak pernah menyebut nama Puan sebagai salah satu capres yang ada, diberbagai kesempatan Jokowi bahkan terus terang mengendorse Ganjar dan Prabowo sebagai calon yang digadang – gadang baik secara langsung maupun tidak.

Nama Prabowo, Ganjar adalah nama yang sering disebut Jokowi sebagai calon yang direstui, selain nama Yusril, Airlangga Hartarto, dan Eric Tohir. Nama lain yang pernah disebut adalah nama Sandiaga Uno dan AHY. Nama Puan dan Anies tak pernah disebut oleh Jokowi dalam berbagai kesempatan yang dia miliki. Ini menandakan bahwa Puan dan Anies adalah nama yang tidak dikehendaki oleh Jokowi.

Nuansa “rivalitas” Megawati dan Jokowi semakin nampak terbuka ketika menjelang perhelatan Piala Dunia U – 20 dimana Indonesia didapuk sebagai tuan rumah. Sebuah penantian panjang sepak bola Indonesia diajang Piala Dunia. Namun tiba – tiba kandas akibat koor bersamaan menolak kedatangan timnas Israel yang dilakukan oleh kader – kader PDIP. Apa yang dilakukan oleh para kader PDIP, I Wayan Koster, Gubernur Bali, Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng dan para kader PDIP Surabaya sejatinya sesuatu yang biasa dan wajar bila mengacu pada konstitusi negara UUD 1945 yang menolak penjajahan diatas dunia, sementara Israel adalah negara penjajah yang menganeksasi Palestina. Apa yang dilakukan oleh para kader PDIP sejalan dengan apa yang pernah dilakukan oleh Bung Karno, namun sayangnya aksi itu justru merusak rencana Jokowi untuk mengendorse Eric Tohir agar bisa tampil dan sukses menyelenggarakan perhelatan Piala Dunia. Nasi sudah menjadi bubur, FIFA memberi sanksi Indonesia dengan mencoret sebagai tuan rumah. Sebuah penantian panjang persepak bolaan Indonesia yang tiba tiba sirna begitu saja.

Ibarat luka, maka terlihat semakin mengangah, ketika acara silaturahmi Ramadhan di markas PAN. Semua ketua parpol koalisi pemerintah hadir kecuali partai Nasdem yang memang tidak diundang, karena dianggap sudah bersebrangan dan PDIP yang tidak datang karena Megawati masih berada diluar negeri, anehnya tidak ada satupun perwakilan dari PDIP, padahal presiden Jokowi hadir diacara itu. Bahkan Jokowi mengatakan setuju bila dua koalisi yang hadir dalam acara ini, Koalisi Indonesia Bersatu, KIB ( Golkar, PAN, PPP) dan Koalisi Indonesia Raya, KIR ( Gerindra dan PKB) melebur menjadi satu dan menjadi koalisi bersama.

Persetujuan Jokowi meleburnya dua Koalisi yang tergabung dalam pemerintahan tanpa adanya PDIP, menimbulkan banyak dugaan bahwa Jokowi sudah putus asa berharap kepada PDIP untuk memunculkan calonnya, Ganjar Pranowo, apalagi Ganjar juga dianggap melakukan “blunder” menolak kedatangan timnas Israel.

Harapan Jokowi seolah tinggal kepada Prabowo yang bisa dimunculkan dari peleburan dua koalisi pemerintah, meski lewat PDIP, Jokowi masih berharap Ganjar bisa dimunculkan.

Namun semuanya kembali berpulang kepada Megawati, apakah berkenan seperti peristiwa 2014 ataukah Megawati tetap pada pendiriannya, menjaga trah Soekarno di PDIP dan memunculkan Puan sebagai calon yang diusung. Kita tunggu saja!

Surabaya, 5 April 2023

Isa Ansori
Akademisi dan Kolumnis

 

 

Tak kunjung ditetapkannya calon presiden dari PDIP membuat Jokowi gelisah dan dalam kepanikan. Melawan secara terbuka tentu bukan sikap Jokowi, tetapi sinyal – sinyal perlawanan terhadap Megawati sering kali dikirimkan.

Semakin dekatnya masa pendaftaran capres – cawapres dan semakin tak kunjung ada kepastian sikap PDIP tentang calon tersebut, membuat Jokowi melakukan manuver – manuver untuk mengendorse calon – calon yang dianggap bisa menjamin masa depan dirinya, keluarganya, proyek – proyek oligarki dan kepentingan Cina. Hal ini terjadi karena Jokowi harus memberi kepastian dan jaminan kepada investor yang telah menggelontorkan dananya.

Kondisi ketertekanan Jokowi diperparah oleh ketidakterbendungnya penerimaan masyarakat terhadap Anies Baswedan. Anies menjadi fonomena baru yang tidak diharapkan oleh Jokowi dan oligarki.

Anies dianggap sebagai calon presiden yang akan menghentikan seluruh praktik jelek proyek ambisius Jokowi yang memanjakan oligarki, terutama investasi yang datangnya dari Cina. Padahal Anies tidaklah seperti itu, Anies adalah sosok yang taat kosntitusi, Anies tak akan membatalkan tanpa alasan, Anies hanya akan melakukan sesuatu berdasar pada skala prioritas. Jadi tak benar Anies digambarkan sebagai sosok yang menghentikan program Jokowi, kecuali memang program yang tak ada dalam perencanaan dan undang undang.

Jokowi jelas tak menghendaki Puan sebagai capres PDIP, Jokowi lebih berharap Ganjar yang digadang mampu mengamankan proyek – proyek ambisiusnya yang memanjakan oligarki. Namun sayangnya, Megawati tidak sejalan dengan keinginan Jokowi. Bahkan Megawati dengan tegas mengatakan urusan Capres PDIP mutlak berada dibawah kewenangannya sebagai ketua umum yang diamanahi oleh rakernas PDIP 2022.

Bagi Megawati, ditengah usianya yang semakin bertambah, mengamankan PDIP berada dibawah kendali trah Soekarno, jauh lebih penting dibanding sekedar hanya kekuasaan. Selain anak biologis, Puan dianggap sebagai anak ideologis yang akan mampu menjaga arah PDIP sejalan dengan pikiran pikiran Soekarno. Apalagi pernah ada pernyataan dari pendukung Ganjar bila Ganjar Presiden, Jokowi akan menjadi ketua umum PDIP, sebuah keinginan yang sederhana sebagai partai yang mengklaim sebagai partai demokratis, namun ini menjadi ancaman bagi Megawati.

Munculnya kelompok dewan kolonel dan dewan kopral sejatinya merupakan persaingan diinternal PDIP antara loyalis Puan dan loyalis Ganjar. tentu saja persaingan itu bisa dibaca sebagai persaingan antara loyalis Megawati dan loyalis Jokowi.

Perang terbuka Jokowi terhadap Megawati bisa dilihat bahwa Jokowi tak pernah menyebut nama Puan sebagai salah satu capres yang ada, diberbagai kesempatan Jokowi bahkan terus terang mengendorse Ganjar dan Prabowo sebagai calon yang digadang – gadang baik secara langsung maupun tidak.

Nama Prabowo, Ganjar adalah nama yang sering disebut Jokowi sebagai calon yang direstui, selain nama Yusril, Airlangga Hartarto, dan Eric Tohir. Nama lain yang pernah disebut adalah nama Sandiaga Uno dan AHY. Nama Puan dan Anies tak pernah disebut oleh Jokowi dalam berbagai kesempatan yang dia miliki. Ini menandakan bahwa Puan dan Anies adalah nama yang tidak dikehendaki oleh Jokowi.

Nuansa “rivalitas” Megawati dan Jokowi semakin nampak terbuka ketika menjelang perhelatan Piala Dunia U – 20 dimana Indonesia didapuk sebagai tuan rumah. Sebuah penantian panjang sepak bola Indonesia diajang Piala Dunia. Namun tiba – tiba kandas akibat koor bersamaan menolak kedatangan timnas Israel yang dilakukan oleh kader – kader PDIP. Apa yang dilakukan oleh para kader PDIP, I Wayan Koster, Gubernur Bali, Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng dan para kader PDIP Surabaya sejatinya sesuatu yang biasa dan wajar bila mengacu pada konstitusi negara UUD 1945 yang menolak penjajahan diatas dunia, sementara Israel adalah negara penjajah yang menganeksasi Palestina. Apa yang dilakukan oleh para kader PDIP sejalan dengan apa yang pernah dilakukan oleh Bung Karno, namun sayangnya aksi itu justru merusak rencana Jokowi untuk mengendorse Eric Tohir agar bisa tampil dan sukses menyelenggarakan perhelatan Piala Dunia. Nasi sudah menjadi bubur, FIFA memberi sanksi Indonesia dengan mencoret sebagai tuan rumah. Sebuah penantian panjang persepak bolaan Indonesia yang tiba tiba sirna begitu saja.

Ibarat luka, maka terlihat semakin mengangah, ketika acara silaturahmi Ramadhan di markas PAN. Semua ketua parpol koalisi pemerintah hadir kecuali partai Nasdem yang memang tidak diundang, karena dianggap sudah bersebrangan dan PDIP yang tidak datang karena Megawati masih berada diluar negeri, anehnya tidak ada satupun perwakilan dari PDIP, padahal presiden Jokowi hadir diacara itu. Bahkan Jokowi mengatakan setuju bila dua koalisi yang hadir dalam acara ini, Koalisi Indonesia Bersatu, KIB ( Golkar, PAN, PPP) dan Koalisi Indonesia Raya, KIR ( Gerindra dan PKB) melebur menjadi satu dan menjadi koalisi bersama.

Persetujuan Jokowi meleburnya dua Koalisi yang tergabung dalam pemerintahan tanpa adanya PDIP, menimbulkan banyak dugaan bahwa Jokowi sudah putus asa berharap kepada PDIP untuk memunculkan calonnya, Ganjar Pranowo, apalagi Ganjar juga dianggap melakukan “blunder” menolak kedatangan timnas Israel.

Harapan Jokowi seolah tinggal kepada Prabowo yang bisa dimunculkan dari peleburan dua koalisi pemerintah, meski lewat PDIP, Jokowi masih berharap Ganjar bisa dimunculkan.

Namun semuanya kembali berpulang kepada Megawati, apakah berkenan seperti peristiwa 2014 ataukah Megawati tetap pada pendiriannya, menjaga trah Soekarno di PDIP dan memunculkan Puan sebagai calon yang diusung. Kita tunggu saja!

Surabaya, 5 April 2023

Isa Ansori
Akademisi dan Kolumnis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »