Istri Gugat Cerai Suami karena Tidak Memberikan Nafkah dan Selingkuh

Sriwijaya Merdeka : Palembang

#SalamSrika

Herman Suryanto

Pertanyaan

Saya dan suami sudah memiliki 1 anak perempuan berusia 8 tahun. Suami saya suka selingkuh, tidak pernah memberikan nafkah lahir untuk saya dan anaknya, apalagi mau membangun rumah. Rumah yang ada semuanya hasil keringat saya. Apakah saya bisa gugat cerai suami saya karena alasan itu? Kemudian, jika saya yang menggugat, apakah suami tetap dapat harta gono-gini?

Jawaban

Gugat cerai kepada suami adalah langkah mengakhiri perkawinan yang dapat dilakukan oleh pihak istri.

Kami mengasumsikan bahwa perkawinan Anda tunduk pada hukum Islam. Oleh sebab itu, untuk menjawab pertanyaan Anda, kami merujuk pada UU Perkawinan dan perubahannya serta KHI.

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Dalam perkawinan secara Islam putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena talak, yang dimohonkan  gugatan perceraian, yang diajukan oleh istri.

berdasarkan KHI, ada sejumlah alasan yang dapat menjadi alasan perceraian

  1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
  5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
  6. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
  7. suami melanggar taklik talak;
  8. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Kewajiban Suami Memberikan Nafkah yang Layak

Alasan mungkin bisa menggambarkan kondisi Anda saat ini. Kemudian, selain sejumlah alasan yang diterangkan, penting pula diketahui bahwa suami wajib untuk memberikan istrinya nafkah yang layak.

Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Salah satu kewajiban suami adalah melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Selain itu, kewajiban ini juga ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (4) KHI yang menerangkan:

sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

  1. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
  2. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
  3. biaya pendidikan bagi anak.

Nyatanya, suatu perkawinan menimbulkan hubungan keperdataan antara suami dengan istri yang kemudian melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Dengan kata lain, jika suami tidak memberikan nafkah yang layak untuk istri, maka ia dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.

Jika Suami Tidak Mampu Menafkahi

Kami asumsikan nafkah lahir yang menjadi alasan gugat cerai suami adalah nafkah secara finansial, juga berselingkuh. Jika suami melalaikan kewajiban memberi nafkah sebagaimana diterangkan sebelumnya, istri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk menuntut nafkah yang layak.

Maka, mengenai pemberian nafkah yang layak, sebenarnya sudah tersedia upaya hukumnya, yaitu gugatan untuk menuntut nafkah, dan tidak serta merta harus menempuh langkah perceraian. Langkah ini dapat ditempuh dalam proses mediasi di pengadilan sebelum putusan perceraian dilakukan.

Perselingkuhan dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan perceraian. Dalam PP 9/1975 disebutkan bahwa perselingkuhan termasuk dalam perbuatan zina.

Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 284 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa ada ancaman pidana berupa hukuman penjara paling lama sembilan bulan bagi suami atau istri yang melakukan perbuatan zina (dalam hal ini termasuk perselingkuhan) dan istri wajib membuktikan perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangannya, baik dalam bentuk foto, vidio, atau status perselingkungannya di media sosial seperti face book, whatsApp, twitter, instagram, atau saksi langsung. Hal ini penting untuk memperkuat pembuktian sehingga dapat menjadi pertimbangan hakim di persidangan.

Masalah anak perempuan yang berumur 7 tahun, dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa anak yang berusia di bawah 12 tahun adalah hak ibunya.

Ketentuan ini secara tidak langsung menerangkan bahwa ibulah yang memiliki hak penuh atas anaknya. Sedangkan, bagi anak yang berusia di atas 12 tahun disebutkan bahwa anak tersebut dapat memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya.

Pasal 45 UUP menyebutkan bahwa kedua orangtua (dari si anak) memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik dengan sebaik-baiknya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketika salah satu atau bahkan kedua orang tua dari si anak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai hukum atau ketentuan yang berlaku, maka hal tersebut sudah menyalahi kewajibannya dalam mendidik anaknya, maka gugatan istri dapat diterima oleh majelis hakim, dimana ayah melanggar pasal 45 UUP, bukan sebagai ayah yang baik, berselingkuh dan tidak pernah memberi nafkah batin kepada anak, kecuali kalau ayah itu cacat tetap sehingga tidak memungkinkan untuk bekerja sebagaimana di atur dalam UUP Pasal 41 butir (b)

Jika Istri Menggugat Cerai Apakah Dapat Harta Gono-gini?

Menjawab pertanyaan Anda tentang jika istri yang menggugat cerai apakah suami dapat harta gono-gini? Adapun harta gono-gini, harta gana-gini atau yang umumnya dikenal sebagai harta gono-gini diatur dalam Pasal 97 KHI. Pasal tersebut menerangkan bahwa janda atau duda cerai, masing-masing berhak seperdua (setengah) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan dan

Harta Bersama dan Harta Bawaan dalam Perkawinan
Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa:
  1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
  2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Kemudian, dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 36 UU Perkawinan bahwa:
  1. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
  2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pengertian harta bersama disebutkan dalam Pasal 85 KHI:
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami atau isteri.
Lebih lanjut, dalam Pasal 86 KHI menyebutkan bahwa:
  1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
  2. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

Jadi, sepanjang tidak ada harta bersama yang ditentukan dalam sebuah perjanjian perkawinan, istri yang menggugat cerai suami dimana kekayaannya diperoleh atas nama istri, sepenuhnya dikuasai istri, suami tidak berhak menyatakan itu harta bersama.

berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan penjelasannya, pasangan diperbolehkan mengajukan permohonan cerai talak atau cerai gugat disertai pembagian harta gono-gini di Pengadilan Agama yang proses persidangannya dilakukan bersama-sama.

Namun, sekali lagi kami tekankan bahwa Anda dapat mengupayakan gugatan menuntut nafkah tanpa perceraian sebagaimana diterangkan.

Demikian jawaban dari kami terkait gugat cerai suami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

[1] Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)

[3] Pasal 132 KHI

[4] Pasal 116 KHI

[5] Pasal 30 UU Perkawinan

[6] Pasal 34 ayat (1) UU perkawinan

[7] Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan jo. Pasal 77 ayat (5) KHI

Sumber Ahli :
Anisa Marwah Nabila, SH,  dan Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H, hukumonline.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »
Exit mobile version