Melawan Rezim Tirani dan Oligarki
#SalamSrika
Kamis, 6 Syawal 1444 Hijriah / 27 April 2023 M
Isa Ansori, Akademisi dan Kolumnis
Demokrasi adalah pilihan diantara model model pemerintahan yang ada. Demokrasi dipilih dilatarbelakangi oleh perbedaan kepentingan dan dipertemukan dengan kepentingan terbanyak untuk kebaikan bersama.
Sebagai sebuah pilihan, Demokrasi mempunyai kelebihan dan kekurangan, dan sayangnya yang menjadi kekurangan dalam demokrasi sering dimanfaatkan oleh kekuasaan yang bisa mengendalikan untuk kepentingannya.
Kekuasaan sering dikonotasikan dengan para pemilik modal yang berselingkuh dengan pemerintah, lalu berusaha memaksakan kehendaknya melalui cara apapun dengan menggunakan kekuasaan dan uang yang dimiliki.
Cara seperti ini adalah cara cara primitif yang pernah dilakukan ketika Athena di abad ke 7 dan di Perancis ketika memasuki revolusi Industri.
Beberapa penulis kuno mencontohkan bagaimana Peisistratos membangun tirani dengan cara memberi bantuan keuangan dan makanan kepada kelompok – kelompok rentan yang bisa dikendalikan.
Sebagai pemegang tiran, Peisistratos mencoba memain mainkan konstitusi dan apa yang ada diluar konstitusi, diluar konstitusi diharapkan memaklumi apa yang dia lakukan didalam konstitusi. Sehingga apapun yang dia lakukan meski melanggar konstitusi akan terjadi permakluman, karena persepsi masyarakat sudah terbangun bahwa apa yang terjadi adalah sebuah kewajaran.
Situasi bernegara kita sedang mengalami suasana “Post Truth”, suasana hoax dan ketidakbenaran yang dihembuskan berulang ulang, sehingga menjadi sesuatu yang wajar dan dianggap benar.
Media massa dan media sosial menjadi instrumen penting menghujam alam bawah sadar rakyat Indonesia. Suplai informasi hoaxnya dilakukan oleh buzzer bayaran dan lembaga – lembaga survey yang dipesan untuk memunculkan nama nama tertentu yang dikehendaki oleh tiran dan pemilik modal. Tujuannya hanya satu, melanggengkan kekuasaan.
Demokrasi kita terjerembab pada titik kehinaan, demokrasi seolah olah, demokrasi yang melayani penguasa dan pemilik modal serakah. Akibatnya kita kehilangan apa yang disebut sebagai sikap kenegarawanan. Sikap pemimpin yang selesai masa tugasnya seharusnya netral, menjadi guru bangsa, tapi menjelma menjadi angkara bagi siapapun yang tak dikehendaki.
Presiden yang seharusnya menjadi mahluk yang berbudi, menyiapkan langkah transisi, justru terlibat dalam upaya curang menghalalkan segala cara demi ambisi sempit kekuasaan. Apalagi kekuasaan yang tidak melayani rakyat.
UUD 1945 teramputasi, yang seharusnya negara didirikan untuk melayani rakyat, berubah menjelma menjadi penghisap darah rakyat. Pajak ditekan, BBM dinaikkan, para buruh dan kaum papa dijadikan asset industri yang bisa diperlakukan semaunya para pemilik modal, tenaga kerja asing, terutama China, dimanjakan dan banyak lagi perlakuan tak terpuji yang dilakukan.
Rakyat dimanjakan dengan bantuan – bantuan sosial yang sejatinya adalah pembodohan, seolah pemerintah berjasa padahal pemerintah sedang merendahkan harkat dan martabat rakyat dari suatu bangsa yang merdeka.
Rakyat dimanjakan dengan bantuan – bantuan sosial yang sejatinya adalah pembodohan, seolah pemerintah berjasa padahal pemerintah sedang merendahkan harkat dan martabat rakyat dari suatu bangsa yang merdeka.
Padahal seperti yang diamanahkan oleh para pendiri bangsa yang tertulis didalam pembukaan UUD 1945 bahwa bangsa ini didirikan untuk mencedaskan, melaksanakan ketertiban, mendamaikan dan mempersatukan serta menghadirkan kesejahteraan sosial.
Implementasinya adalah bumi, air dan sumber daya alam menguasai hajat hidup orang banyak harusnya dikuasai negara dan dikuasai sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kini hanyalah ilusi, mengulang sejarah Orde baru dimana oligarki mendapatkan kekuasaan yang besar untuk menjarah. Rakyat hanya menjadi penonton dan penerima sedekah.
Pemerintah menjadi tirani, menjajah bangsa sendiri dan sibuk melayani oligarki, para kapitalis. Akankah ini didiamkan?
Tentu tidak, Reformasi 1998 terjadi karena praktik kehidupan yang koruptif, KKN dan melupakan hak rakyat, sehingga saat itu, rakyat, mahasiswa dan kaum buruh bergerak.
Pilpres 2024 juga semakin terlihat siapa capres yang melayani oligarki dan siapa capres yang melayani rakyat dengan menghadirkan konstitusi didalam kehidupannya.
Rakyat harus cerdas melihat rekam jejak, siapa calon presiden penerus yang melayani oligarki dan siapa calon presiden yang bersama rakyat.
Rakyat harus memahami bahwa saat ini era post truth membenarkan kesalahan dengan jalan publikasi melalui media dan media sosial melalui para pekerja buzzer dan memanfaatkan lembaga survey abal abal yang menjual kehormatan akademis.
Saatnya di 2024 berjuang untuk memenangkan Indonesia dengan memilih presiden yang mengabdi dan melayani rakyat, bukan presiden yang melayani partai dan mengabaikan rakyat serta mengabdi pada oligarki.
Mari kita selamatkan Indonesia dengan semangat perubahan, Lawan Oligarki harga mati!
Surabaya, 23 April 2023
Isa Ansori
Akademisi dan Kolumnis