Pak Jokowi… Cobalah Dengar Suara Gibran, Itulah Obat Kecemasan Yang Sesungguhnya!
#SalamSrika
Selasa, 27 Ramadhan 1444 Hijriah / 18 April 2023 M
Isa Ansori, Akademisi dan Kolumnis
Baca juga : Mengapa Perlu Koalisi Besar?
Unggul disurvey, nengapa Koalisi Jokowi Masih Cemas? Tentu ada penyebabnya. Berangkat dari hasil survey dan masih terlihatnya dinamika koalisi yang direstui masih gaduh, penulis mencoba memotret dan apa yang semestinya bisa menjadi obat baik bagi kecemasan yang dimilikinya.
Berbagai survey yang ada selalu menempatkan Prabowo dan Ganjar pada urutan satu atau dua, dan Anies selalu ditempatkan di urutan nomor tiga.
Hasil survey terbaru yang dikeluarkan oleh LSI menempatkan Ganjar Pranowo di urutan nomor 1 dengan elektabilitas 30,3 %, Prabowo 16,5 % dan Anies 12,1 %.
Dalam simulasi tiga pasangan di Jatim, LSI juga menempatkan pasangan Ganjar – Eric Thohir 39,2 %, Prabowo – Khofifah 21 % dan pasangan Anies – AHY hanya 17,3 %. Bahkan diperkuat dengan temuan bahwa sebanyak pemilih NasDem di 2019 akan bergeser ke Ganjar.
Apa yang dipublikasi oleh LSI bahkan diperkuat dengan temuan Indopol periode Maret 2023 di Jatim. Urutan top mind Ganjar Pranowo memperoleh 26,9 %, Prabowo 16,3 % da Anies hanya 9,8 %.
Lalu apa yang harus ditakutkan terhadap seorang Anies Baswedan? Dan bagaimana pula kita harus membaca hasil survey – survey itu?
Untuk menjawab bagaimana masyarakat melihat realitas yang ada, apakah kunjungan Anies Baswedan ke beberapa daerah selalu sepi oleh masyarakat, lalu bagaimana situasi kunjungan yang dilakukan oleh Prabowo dan Ganjar dibeberapa daerah? masyarakat cukup berbekal dengan fakta itu tentu sudah akan bisa menilai bagaimana survey itu dibuat. Bahkan ketika berkunjung ke Medan, kebetulan juga saat itu ada salah satu Capres yang juga berkunjung kesana, bedanya yang satu harus menggunakan stimulan sembako sedang Anies tidak, meski tanpa sembako kedatangan massa yang menyambut Anies luar biasa, bahkan mereka yang datang ke salah capres tersebut, setelah mendapatkan bagian sembako, mereka juga menyambut Anies. Kata mereka sembakonya kita terima, yang ada di hati hanyalah Anies Baswedan.
Anies memang sudah tak bisa dibendung lagi, fenomena Anies ini seperti yang dialami SBY dan Jokowi, menjadi fenomena setelah ada harapan masyarakat agar perubahan. Nampaknya hanya sikap yang berbeda yang dilakukan oleh SBY dan Jokowi. SBY mengakhiri masa transisi demokrasi dengan baik tanpa ikut campur tangan, berbeda dengan Jokowi yang terkesan tidak ingin ada pergantian, seolah Jokowi memiliki beban agar masa kepemimpinannya harus diperpanjang.
Bahkan tak segan ada orang – orang dilingkaran Jokowi yang menjerembabkan Jokowi seperti ambisius dan harus dia yang menyelesaikan, namun terakhir koran tempo membahas tekanan China yang meminta jaminan pembayaran proyek kereta cepat melalui APBN. Nampaknya ini juga akan menjadi persoalan tersendiri. Karena sama saja dengan mempersilahkan China mengebor – obok kedaulatan negara. DPR tentu akan berpikir ulang kalau ini disetujui, resiko reaksi masyarakat akan melebihi reaksinya dibanding terhadap UU Cipta Karya. Reaksi parlemen juga akan berbeda, karena semua parlemen akan berhitung dampak politik terhadapnya. Sehingga konstelasi di parlemen juga akan dinamis dan ini akan menjadi beban tersendiri bagi Jokowi.
Ditengah dilema dan keraguan dan kecemasan yang ada, ada baiknya Jokowi mulai berubah cara pandangnya terhadap negara, progam negara dan siapa yang akan menggantikannya.
Terhadap negara, Jokowi mestinya bukan hanya berpikir hanya dia dan kroninya yang harus menyelesaikan, kecuali memang ada sesuatu yang disembunyikan, sehingga akan berjuang mati – matian dan menghalalkan segala cara untuk mewujudkannya. Negara ada punya tugas konstitusi sebagaimana yang ada didalam UUD 1945, mensejahterakan, mendamaikan, mempersatukan, dan memberi keadilan. Tugas negara adalah tugas bersama, Trias Politika. Sehingga Jokowi tak perlu merasa gundah, sekali lagi kecuali pernah melakukan sesuatu yang berdosa kepada negara.
Berkaitan dengan program-program negara, apalagi yang sudah terdokumentasi dalam UUD tak akan mungkin siapapun penggantinya akan mengamputasi proyek tersebut, yang dilakukan adalah melihat skala prioritas yang ada, sehingga terhadap program program itu Jokowi tak perlu gundah.
Lalu tentang siapa yang akan menggantikan, Jokowi tak perlu berpikir politis sektarian, seolah siapapun yang tidak bersama dia adalah musuh. Jokowi harus merubah pandangan itu, diakhir masa kepemimpinannya Jokowi harus menempatkan diri sebagai guru bangsa dan negarawan, lihat para pendiri bangsa seperti Soekarno dan Buya Hamka bisa duduk bersama, bahkan diakhir hayatnya Bung Karno berwasiat kelak jika beliau wafat maka yang memandikan dan mensholatkan adalah Buya Hamka. Padahal sejarah mencatat bahwa Buya Hamka dipenjara karena perintah Soekarno. Soekarno tidak segan juga mengakui bahwa Buya Hamka adalah orang yang baik dan benar. Mereka menjadi negarawan.
Jangan – jangan orang yang selalu dia musuhi adalah orang baik dan mampu melanjutkan hal hal baik yang dia sudah tanam fondasinya. Hal tersebut sangat mungkin terjadi pada Anies Baswedan yang selama ini beliau musuhi.
Begitulah seharusnya Jokowi menempatkan diri, tidak ada manusia yang sempurna, sehingga kesalahan atau kegagalan adalah hal yang lumrah, butuh orang lain untuk membantu menyelesaikan.
Sebagai kader PDI-P, Jokowi seharusnya bisa banyak membaca sejarah bagaimana Bung Karno bergaul dengan mereka yang dianggap berbeda, meski berbeda, Soekarno masih bisa duduk bersama, berdiskusi membahas masalah – masalah kebangsaan. Kalau kemudian memperlakukan lawan politiknya, karena kepentingan politiknya berjalan, namun begitu bicara masalah kebangsaan dan kemanusiaan, Bung Karno menjadikan sebagai teman diskusi.
Tentu masih ada waktu bagi Jokowi untuk merubah gaya berpolitik dan komunikasi yang cenderung memecah belah, apakah Jokowi memang begitu? Saya kira tidak, Jokowi selama di Solo, bisa juga bertemu dengan siapapun, seperti Gibran yang saat ini memimpin solo, egaliter.
Sudahlah saya kira cukup bagi Jokowi terkungkung dalam kepentingan politik mereka yang menjadi brutus dan memanfaatkan kekuasaan yang diembannya.
Yakinlah bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pemaaf, maka ada baiknya beliau lebih banyak menjadi negarawan yang baik, guru bangsa yang baik, berpihak pada semua, mengayomi semua, kesalahan masa lalu biarlah, akan menjadi catatan pahit yang tidak boleh terulang lagi.
Akhirnya menjadi negarawan adalah mereka yang mengkombinasikan perjuangan politk dan suara nurani untuk kebaikan bangsa. Kebaikan bangsa ini tercantum didalam pembukaan UUD 1945.
Yang terhormat presiden Jokowi ada baiknya mulai dihindari para Brutus disekeliling bapak yang hanya memanfaatkan kekuasan yang bapak pegang. Cobalah bapak bicara dari hati ke hati dengan orang orang dekat yang mengenal bapak, ibu Iriana, ajak beliau berdialog sebagai istri dan ibu dari anak anak bapak, putra bapak, Gibran, Kaesang. Saat ini saya sangat terharu dan hormat dengan pernyataan Gibran, tidak sebagai walikota Solo, tapi sebagai putra bapak, yang dengan tulus dan meminta kepada bapak, bapak kembalilah ke Solo, istirahat, biarlah semua yang sudah diputuskan dijalankan, masih banyak orang yang bisa melanjutkan mimpi – mimpi besar bapak.
Suara seorang anak yang tentu jauh dengan kepentingan politik praktis, lebih melihat apa yang terbaik bagi bapaknya.
Dalam sikap politik, Gibran mampu menempatkan diri sebagai negarawan, dia bisa ketemu siapapun dalam rangka belajar dan berdiskusi, bahkan dengan Anies Baswedan yang dianggap sebagai oposisi.
Gibran tahu betul, Anies tidak seperti yang digambarkan orang selama ini, makanya dia mengatakan bahwa Anies adalah role model, guru pemerintahan yang baik, sebuah ketulusan dan kejujuran meski saat itu di Jakarta, Anies dimusuhi oleh partainya.
Gibran inilah millenial, aset bangsa yang mencoba mau keluar dari konflik orang tua dan para politisi praktis. Gaya berpolitik yang terbuka, egaliter bisa berkawan dengan siapa, dibanding dengan Giring, Grace Natalie, Guntur Romli, Ade Armando dan lain lain yang selama berpolitik memecah belah dan membawa identitas, Gibran jauh bermartabat dan beretika. Pembawaannya santai, santun dan bisa menghargai orang lain.
Sekali lagi buat Pak Jokowi, dengarlah suara Gibran, suara anak bapak, yang sekarang menjadi pemimpin di Solo, Gibran lebih tulus dibanding para Brutus yang saat ini ada disekitar bapak. Mereka suatu saat akan meninggalkan bapak, apalagi menjelang berakhirnya masa jabatan bapak, apalagi kalau bapak sudah dianggap tidak lagi bermanfaat bagi mereka. Akhirnya ibu dan anak anak Bapaklah yang akan bersama bapak.
Jauhilah mereka yang disekeliling bapak yang selama membisikkan kebencian terhadap Anies Baswedan, mereka memanfaatkan bapak untuk kepentingannya, dengarlah dan putar lagi memori bapak saat Anies berjuang bersama bapak dan mengantarkan sebagai presiden. Anies adalah orang yang pernah berjasa didalam karir anda. Tidak ada salahnya anda berbicara dari hati ke hati, kalau bapak sulit untuk mengatur jadwal, biarlah Gibran bisa mengaturnya, sebagai seorang anak yang rindu bertemu dengan sang bapak.
Surabaya, 16 April 2023
Isa Ansori
Akademisi dan Kolumnis