Studi Banding Telaah Pemerkosaan Lahat dan Bandung

Sriwijaya Merdeka : Pallembang

#SalamSrika

  1. Kasus Pemerkosaan Lahat

Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara dan pejabat struktural di Kejaksaan Negeri Lahat tidak melakukan penelitian terhadap kelengkapan syarat formil dan kelengkapan syarat materiil, setelah dilaksanakannya Eksaminasi terkait penanganan kasus ini

“Serta ditemukan adanya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana dalam keterangan tertulisnya. Oleh sebab itu, pejabat struktural dan jaksa penuntut umum yang menangani kasus ini telah dicopot dari jabatannya.

Kronologi Kejadian

Peristiwa pemerkosaan terhadap A terjadi pada 29 Oktober 2022. Semula korban dibawa seorang pelaku ke tempat kos di kawasan Bandar Agung, Kabupaten Lahat. Di sana, korban dipaksa masuk ke kamar dan dikunci oleh tersangka OH dari luar. A pun ketakutan saat pelaku ini mematikan lampu kamar. Lalu, pelaku OH pun masuk dan menarik paksa korban untuk diajak berhubungan intim. Korban A pun menolak ajakan tersebut. Ia sekuat tenaga melawan namun kalah.

Setelah melampiaskan perbuatannya, 1 tersangka lagi yakni MAP masuk ke kamar. Saat itu, ia melihat A menangis ketakutan di dalam kamar. Bukannya menolong, MAP juga melakukan hal sama. Bahkan, pemuda ini sempat mengancam akan mendorong korban ke jurang bila menolak. Usai kedua rekannya memperkosa korban, pelaku GA masuk ke kamar. Ia pun menampar mulut A yang ketika itu masih menangis ketakutan. A lagi-lagi dipaksa untuk melayani GA dengan di bawah ancaman. Gadis ini kemudian ditinggalkan begitu saja di rumah kos setelah ketiga pelaku puas memperkosa korban.

Setelah kejadian tersebut, 2 pelaku yakni OH dan MAP ditangkap Satreskrim Polres Lahat pada November 2022 usai dilaporkan orangtua korban. Keduanya kemudian ditetapkan tersangka dan dikenakan Pasal 6 Huruf C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan atau Pasal 81 Ayat (1) juncto Pasal 76D UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU Nomor 01 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang perlindungan anak. Setelah itu, berkas keduanya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Lahat. OH dan dan MAP dituntut JPU dengan penjara 7 bulan dalam sidang tertutup. Dalam persidangan, hakim mengeluarkan vonis 10 bulan penjara.

2. Kasus Pemerkosaan di Bandung

Awal terungkap

Terbongkarnya kasus ini berawal ketika salah satu korban, yang tak lain merupakan santri Herry Wirawan, pulang ke rumah ketika hendak merayakan Idul Fitri 2021. Saat itu, orang tua korban menyadari bahwa putri mereka tengah hamil. Kejadian ini lantas dilaporkan ke Polda Jawa Barat serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut. Berangkat dari laporan itu, polisi lantas melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga terungkap bahwa korban diperkosa oleh Herry Wirawan. Dari situ, ditemukan fakta mencengangkan, bahwa ternyata korban perkosaan Herry tak hanya satu, melainkan 13 orang. Dari jumlah tersebut, lahir 9 bayi dari 8 korban.

Dalam persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Herry dijatuhi hukuman mati dan kebiri kimia. Sebabnya, tindak kejahatan Herry dilakukan secara terus menerus dan dinilai sistemik. Namun, vonis Majelis Hakim PN Bandung lebih rendah dari tuntutan jaksa. Persidangan yang digelar Selasa (15/2/2022) menjatuhkan vonis penjara seumur hidup terhadap Herry. “Menjatuhkan kepada terdakwa dengan pidana penjara seumur hidup,” kata Hakim Ketua Yohannes Purnomo Suryo Adi dalam sidang.

Menurut hakim, terdakwa sebagai pendidik dan pengasuh pondok pesantren seharusnya melindungi dan membimbing anak-anak yang belajar. Namun, sebaliknya, Herry malah memberi contoh tidak baik dan merusak masa depan anak-anak didiknya. Kendati demikian, hakim juga mempertimbangkan bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Selain itu, Herry mengaku menyesali perbuatannya. Hukuman mati Atas vonis tersebut, JPU mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Gugatan itu dikabulkan, Herry pun dijatuhi hukuman mati.

Atas vonis tersebut, JPU mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Gugatan itu dikabulkan, Herry pun dijatuhi hukuman mati. “Menerima permintaan banding dari jaksa/penuntut umum. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati,” demikian putusan PT Bandung yang diketuai oleh Herri Swantoro berdasarkan dokumen putusan yang diterima, Senin (4/4/2022). Tak hanya itu, Herry juga dibebankan uang ganti rugi atau restitusi kepada terdakwa. Herry diwajibkan membayar restitusi ke 13 korbannya. Nominalnya beragam. Namun, jika diakumulasikan, total biaya restitusi yang harus dibayarkan Herry mencapai Rp 300 juta.

Dalam putusan itu, Herry tetap dihukum sesuai Pasal 21 KUHAP jis Pasal 27 KUHAP jis Pasal 153 ayat ( 3) KUHAP jis ayat (4) KUHAP jis Pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis Pasal 241 KUHAP jis Pasal 242 KUHAP, PP Nomor 27 Tahun 1983, Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76 D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan.

3. Resume

Dari dua kasus pemerkosaan di atas, kita melihat ada yang menarik, perbedaan pandangan Jaksa Penuntut Umum di Lahat Jaksa Penuntut Umum di Bandung, yang satu sangat ringan, terdakwa di tuntut 7 bulan dan di hukum mati. Sementara Hakim yang di Lahat, menjatuhkan lebih berat dari tuntutan JPU yaitu 10 bulan, sementara Hakim yang di Bandung lebih ringan dari pada tuntutan JPU yaitu seumur hidup dengan pertimbangan bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM)

Terlepas perbedaan kasus dan pasal yang menjerat kasus pemerkosaan dengan segala latar belakang peristiwa, ada yang terlupakan baik JPU dan Hakim bahwa:

  1. Penderitaan korban berlaku seumur hidup, yang dapat membuat stress, hingga depresi, bahkan dalam beberapa kasus korban pemerkosaan bunuh diri.

2.Pelaku ketika melakukan pemerkosaan berkali kali atau secara massal, tidak pernah mempertimbangkan bahwa perbuataan mereka adalah  pelanggaran HAM, tidak berfikir bagaimana kalau korbannya adalah anak gadisnya, adik perempuannya, kakak perempuannya atau ibunya diperkosa berkali kali atau diperkosa secara massal

  1. Tempat kejadian perkara di sekolah atau hotel, perlu mendapat perhatian ekstra dari kepala daerah dan pihak yang terkait dengan pengawasan sekolah, agar mencabut ijin hotel tersebut dan meningkatkan pengawasan perilaku guru – guru atau ustadz sebagai orang yang bertanggung jawab untuk melindungi murid atau santrinya.
  2. Memberi apreasi kepada Kejaksaan Agung yang mencopot Kajari Lahat dan JPU di Lahat yang kurang cermat penelitian terhadap kelengkapan syarat formil dan kelengkapan syarat materiil dan diduga adanya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang, serta memberi reward yang setinggi tingginya kepada JPU yang mengajukan banding ke PT Bandung untuk tetap dituntut hukuman mati.
  3. Perlu adanya kesamaan pandangan konsep HAM yang melarang hukuman mati antara para ahli hukum, penegak hukum, sehingga dapat nenjadi patokan bahwa, pemerkosaan adalah perbuataan biadab dan layak dihukum mati, dikebiri, agar dapat menimbulkan efek jera

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »
Exit mobile version