Membumikan Kembali Pancasila Bersama Anies Baswedan

Sriwijaya Merdeka : Surabaya

#SalamSrika:

Isa Ansori, Kolumnis

Kalau ada orang yang menganggap Anies pembawa politik identitas, Anies intoleran bisa dipastikan mereka adalah orang tak paham sejarah dan mengalami proses ahistori. Tapi itulah gambaran suasana yang sekarang terjadi pada para buzzer antek oligarki dan para pembenci Anies. Cermin dari ketakutan dan kecemasan akan hilangnya peluang kerakusan menjarah asset negara.

Potret aktifitas Anies sebagai aktivis dan pejuang Demokrasi semasa mahasiswa terlihat dalam sebuah catatan unggahan Sebagaimana yang tertulis dalam akun instagram miliknya, Anies menuliskan : Masa kuliah jadi pelengkap yang utama. Masuk Fakultas Ekonomi UGM, angkatan 1989. Pembelajaran di ruang kuliah, dan di luar ruang kuliah menjadi pelajaran yang hikmahnya mengalir tanpa henti hingga sekarang. Pada masa kuliah inilah gemblengan pengalaman membekas hingga kini. Pergolakan ide tentang keterbukaan, tentang demokrasi dihadapkan dengan kondisi represif era Orde Baru. Kita bersyukur bahwa ambil rute repot, rute perjuangan, berada di sisi pendorong perubahan, bersama dalam angkatan mahasiswa yang berdiri tegak menyuarakan dan memperjuangkan perubahan,” imbuhnya.

Perjuangan dalam mengawal demokrasi juga bukanlah hal yang baru saja terjadi, rekan Anies sesama aktivis mahasiswa, Budiantoro Nur menulis dalam Tweet Anies ( 10/11/2019 ) cuitan yang ditulis mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menyikapi cover majalah Tempo dengan gambar ibarat Anies tenggelam dalam kaleng lem Aibon.

Pemilik Twitter dengan nama akun @booedi ini membagikan kenangannya bersama Anies Baswedan saat masih menjadi aktivis kampus.

“Tahun 1994, @aniesbaswedan memimpin demo mahasiswa memprotes pembredelan Majalah Tempo, Majalah Editor & Tabloid Detik,” tulisnya dengan melampirkan foto bersama Anies saat berunjuk rasa.

Hal ini jelas membuktikan bahwa Anies sejak dulu memang seorang pemimpin yang cerdas dan berani. Meski majalah Tempo yang sempat dibelanya kala itu kini menampilkan sosok dirinya dengan karikatur nyeleneh, Anies ternyata bukanlah seorang yang pendendam, bahkan Anies sangat berterimakasih dengan kritikan Tempo.

“Terima kasih Tempo telah jalankan tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi. Semoga perbaikan sistem yang sedang berjalan bisa segera kami tuntaskan. Terus awasi kami yang sedang bertugas di pemerintahan,” tulis Anies melalui Twitter resminya pada Minggu, (10/11).

Di era kepemimpinannya sebagai Gubernur Jakarta, terlihat Jiwa Anies sebagai pejuang demokrasi dan berjuang untuk menyemai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terlihat bagaimana Anies membangun Jakarta.

Salah satu karya demokrasi Anies di Jakarta adalah demokratisasi pembangunan kawasan jalan Sudirman dan MH Thamrin.

Dalam pandangan Anies kawasan ini terlihat tak manusiawi. Hanya memanjakan para pemilik kendaraan, dan meminggirkan para pejalan kaki.

Sebagaimana diketahui, pada periode sebelumnya, Kawasan protokol Jakarta, seperti Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH. Thamrin, serta jalanan lebar lainnya di Jakarta hanya dapat dinikmati oleh mereka yang bekerja di wilayah itu saja, dan orang luar tidak bisa menikmatinya.

Jalan terbesar di Jakarta itu, kata Anies, hanya dimiliki oleh mereka yang bekerja di kawasan tersebut.

Mereka pun sebagaian besar membawa kendaran pribadi dari rumah menuju tempat kerjanya. Begitu sampai kantor, masuk dan keluar pakai kendaraan pribadi.

Nyaris tak ada aktivitas lainnya, seperti berjalan kaki antar gedung, menikmati ruang publik saat jam istirahat atau makan siang, maupun kegiatan lainnya yang mempertemukan para pekerja dapat bertemu dengan pekerja lainnya antar gedung sembari jalan kaki.

Kawasan Sudirman-Thamrin dengan sekumpulan gedung tinggi berdinding kaca pun tampak angker.

Lalu lalang dan deru mesin kendaraan yang melaju kencang mengisi hari-hari yang sibuk.

Melalui gagasan demokratisasi jalan dikawasan itu, Anies mulai melebarkan trotoar dan membangun jalur sepeda, dengan harapan kawasan itu menjadi ruang publik yang setara dan bisa dimanfaatkan oleh semua.

Perjuangan Anies dalam mewujudkan demokrasi dan keadilan sosial bukanlah sesuatu yang mengada ada dan dicitrakan, tapi memang itulah yang menjadi ruh aktifitas Anies dibanyak tempat dimana dia berpijak.

Anies adalah demokrat sejati, sebagaimana yang ditulis ditulis oleh ilmuwan politik dari Universitas Harvard, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam How Democracies Die ( 2018 ), Buku yang berisi tentang bagaimana para pemimpin terpilih dapat secara bertahap menumbangkan proses demokrasi untuk meningkatkan kekuasaan mereka. Anies menjadi antitesa untuk menghidupkan demokrasi di era kepemimpinannya. Anies tak otoriter dan tak anti kritik, Aneis sangat terbuka dan partisipatif dalam melibatkan rakyat untuk menyusun tata ruang yang demokratis.

2024 adalah momentum bagi kita semua untuk kembali menghidupkan kembali demokrasi setelah hampir selama 10 tahun demokrasi mengalami ketidakpastian bahkan mati suri, begitu juga suramnya keadilan sosial.

Masa depan Indonesia tergantung pada kita semua sebagai rakyat, apakah kita akan pilih pemimpin yang demokratis atau pemimpin yang menjadi antek oligarki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »
Exit mobile version