Magnet Anies
Sriwijaya Merdeka : Surabaya
#SalamSrika
Isa Ansori, Kolumnis
Meski tak lagi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta lagi, Anies boleh dibilang tak kehilangan ruang ekspresi. Bahkan popularitas dan elektabilitas Anies semakin moncer.
Dukungan kepada Anies juga tak henti – hentinya mengalir, yang terbaru dukungan dari partai pendatang baru, Partai Ummat, besutan Amien Rais, lokomotif reformasi.
Amien dengan heroiknya bersama pimpinan Partai Ummat, Ridho Illahi, menegaskan bahwa Anies adalah capres presiden potensial untuk Indonesia kedepan, presiden yang akan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan mempersatukan.
“InsyaAllah di hari pencoblosan 14 Febuari 2024 nanti nama Pak Anies akan terpilih menjadi Presiden RI,” kata Ridho.
Ia mengatakan, seluruh kader partai politik (parpol) besutan Amien Rais itu sudah siap berjuang memenangkan Anies di pesta demokrasi nanti.
“Kemudian saya sampaikan Insya Allah mesin-mesin ini sudah panas. Jadi mesin ini tidak hanya panas tapi siap berjuang,” Tegas Amien.
Baca Juga : Anies Sambang Dulur Ke Surabaya
Apa yang dilakukan oleh Partai Ummat, menyusul dari apa yang sudah dilakukan oleh partai – partai yang tergabung dalam Koalisi Perubahan, yaitu Partai Nasdem, Demokrat dan PKS yang secara resmi sudah mengumumkan bahwa Anies adalah calon presidennya.
Tidak ada yang luar biasa memang dari pencalonan Anies ini, tapi ini menunjukkan bahwa faktor Anies adalah variabel penting yang sangat bisa diharapkan untuk menyelamatkan Indonesia.
Lalu apa saja tantangan Indonesia kedepan? Berbagai perbincangan menyebutkan bahwa bangsa Indonesia menghadapi berbagai tantangan dan ancaman yang akan menjadikan Indonesia bangsa yang rapuh, misalnya investasi china yang ugal-ugalan, hutang yang semakin menggila, masuknya tenaga asing China yang tak terkendali yang berpotensi terjadinya konflik seperti di Morowali, kuasa oligarki yang merajalela, hilangnya rasa keadilan dan persatuan dan banyak lagi potensi yang menyebabkan bangsa ini menjadi bangsa yang terpuruk.
Anies menjadi magnet perubahan, jejak Anies menjadi daya tarik yang luar biasa bagi semua, tidak hanya Partai tapi juga seluruh rakyat Indonesia yang mengharapkan Indonesia menjadi negara yang adil, makmur dan mensejahterakan.
Daya magis dan magnet Anies inilah yang kini juga membuat konstelasi politik menjadi dinamis dan berubah – ubah. Anies menjadi instrumen ukur penting bagi pilihan politik kedepan. Apakah bersama atau berhadapan.
Pilihan itulah yang kini nampak dilakukan oleh berbagai Partai politik dan para politisi. Sebagai contoh, pencapresan Anies, justru membuat Hasto, Sekjend PDIP melemparkan reaksi berlebih, yang mendesak Jokowi untuk me resuffle menteri – menteri Nasdem, untuk berkoalisi dengan Nasdem, Hasto menunggu kode – kode Surya Paloh, upaya pertemuan LBP dengan Surya Paloh, pemanggilan Surya Paloh ke istana oleh Jokowi dan banyak hal yang mengindikasikan bahwa Anies menjadi faktor penting didalam konstelasi perpolitikan saat ini.
Beralihnya dukungan para Ganjaris ke Prabowo, masih belum jelasnya sikap PDIP terhadap capres yang diusung membuat peta politik pun berubah secara cepat. Koalisi Indonesia Raya antara Gerindra dan PKB, juga terancam bubar, karena tak menemukan chemistry yang kuat dan tepat. Lalu manufer Cak Imin ketua PKB yang melemparkan wacana berkoalisi dengan KIB yang sampai saat ini masih menunggu arahan istana siapa capres yang akan diusung.
Sikap hati – hati Megawati yang sampai saat ini belum menentukan siapa capres yang akan diusung mengindikasikan bahwa PDIP berada dalam dilema transisi kekuasaan, antara kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan didalam Partai PDIP sendiri. Bagi Megawati, PDIP sebagai Partai pemenang pemilu 2019, harus mampu menjaga kemenangannya kembali. Akan menjadi faktor penting bila PDIP akan tetap menang dan berkuasa dan PDIP tetap berada didalam kendali trah Soekarno.
Namun sayangnya itu sangat sulit terjadi, karena pengaruh Jokowi semakin meredup seiring dengan masa perjalanan menuju pelaksanaan pilpres 2024. Sudah jamak dalam politik, presiden menjelang masa berakhirnya akan mengalami post power sindrom dan akan ditinggalkan oleh koalisinya. Tanda tanda ini sudah nampak pada diri Jokowi, dukungan Nasdem kepada Anies, bubarnya Jokowi Mania dan upaya upaya Jokowi menghadang Anies tapi nyatanya belum berhasil, ini mengindikasikan bahwa pengaruh Jokowi juga semakin melemah.
Ketidak mampuan Jokowi mengelola isu dengan komunikasi komunikasi yang standar membuat publik kehilangan kepercayaan, ditambah lagi perilaku para pembantunya yang dianggap menjerumuskan Jokowi, membuat Jokowi semakin berada dalam posisi yang sulit. Misalkan yang dilakukan oleh Eric Tohir menambah hutang untuk proyek kereta api cepat Jakarta – Bandung.
Ganjar yang diharapkan menjadi penerus Jokowi, kini juga sudah banyak ditinggalkan oleh pendukungnya bahkan Noel yang awal awal tegas mendukung Ganjar, secara terang – terangan membubarkan dukungannya dan melakukan perlawanan secara terbuka. Tentu ini menjadi tamparan kepada Ganjar.
Bahkan sikap Ganjar kepada awak media yang diskriminatif, membuat citra diri Ganjar jatuh, Ganjar dianggap arogan dan selama ini hanya pencitraan.
Kalau sudah begini kemana harapan akan dilabuhkan? Dalam politik berlaku adagium menang atau ikut menang. Apalagi partai-partai yang belum punya pengalaman sebagai Partai oposisi.
Menguatnya magnet Anies akan menjadi faktor penting bahwa Anies akan menjadi titik temu berbagai macam kompromi dan kepentingan untuk menyelamatkan Indonesia.
Sambil melihat dan membaca gimic – gimic politisi yang berseliweran, ada baiknya rakyat tak terlalu terbawa perasaannya, apalagi sampai bermusuhan sebagai anak bangsa, rakyat harus tetap cerdas dan bijak mengawal dan menentukan siapa presiden pilihannya. Jangan mudah percaya dengan hasil hasil survey yang saat ini sudah sangat sulit dipercaya kredibilitasnya, apalagi dari hasil memberi sesuatu dan meminta sesuatu.
Rakyat harus cerdas melihat rekam jejak siapa capres yang memihak rakyat dan siapa yang seolah olah. Anies telah membuktikan rekam jejaknya di Jakarta.
Surabaya, 16 Februari 2023
Isa Ansori
Kolumnis
Herman Suryanto/Srika